Oktober 2008, saya bikin alarm kebakaran di dapur umum asrama berbunyi. Nasi liwet yang sedang saya masak gosong. Nah, orang yang memahami hakikat nasi liwet akan menggunakan api kecil dan sesekali mengaduk ramuannya. Saya masih (lebih) muda (dari sekarang) dan tidak sebijak itu. Saya pikir ngeliwet cuma soal mencuci beras, menyalakan kompor, lalu voila! Nasi pun matang. Itulah prinsip yang saya pelajari sebagai konsekuensi dari tumbuh besar bersama rice cooker. Akibatnya, saya harus merelakan panci baru gosong bersama makan malam. Tapi yang paling memilukan itu rasa malu karena petugas asrama sampai datang mengecek. Sejak hari itu sampai sekarang, saya tidak pernah coba-coba masak nasi dengan cara tradisional.
Sampai di sini tentu Anda sudah paham seberapa terampil saya di dapur. Saya sih tahu sedikit-sedikit bahan apa yang diperlukan untuk bikin apa, namun jika masalahnya praktek, tolong jangan tanya. Ibu sayalah yang pintar memasak. Sebut apa saja masakan Indonesia, maka beliau akan merapalkan resepnya. Berkat beliaulah saya tumbuh dengan menyukai masakan rumahan, yang dibuat dengan 0% vetsin dan 100% cinta. Sayang saya tidak pernah mewarisi keterampilannya. Pernah saya bersikeras sok-sokan mau masak cah kangkung. Setelah jadi, kangkungnya kematengan, dan rasanya…
“Ini kenapa cuma pedes thok?” seru saya tidak terima. Keringat yang saya teteskan, jam-jam yang saya habiskan mulai dari memetik daun kangkung sampai mematikan kompor… So much for cooking lesson.
“Soalnya udah pake merica masih ditambahi cabe rawit,” jawab Ibu santai. Saya sempat syok mendengar nada Ibu yang menyiratkan beliau tahu, namun sengaja membiarkan saya membuat kesalahan itu. Ada untungnya juga sih, paling tidak sekarang saya tahu untuk tidak menggunakan kedua bahan itu bersamaan kalau tidak ingin mulut terbakar atau mules berkepanjangan.
Setelah itu saya menyerah. Kegiatan memasak terlalu merepotkan. Saya lebih suka tugas luar: belanja, membuang sampah, atau berkebun. Jadi selama bertahun-tahun kami pun membangun kolaborasi harmonis: Ibu membuat daftar belanja, saya berangkat ke tukang sayur. Ibu memasak, saya mencuci peralatan masak. Ibu istirahat, saya makan.
Lulus SD, saya masuk pesantren. Tinggal jauh dari orang tua tidak lantas membuat saya jadi mandiri urusan makan. Untuk beberapa lama saya memanfaatkan layanan catering sederhana yang disediakan pondok. Ketika teman-teman sekamar membentuk tim masak, kontribusi saya hanya sejauh bayar iuran, ngintil pergi ke pasar (tidak bisa dilepas sendiri karena tidak paham beda jahe dan lengkuas), atau mengutak-atik kompor. Saya pernah hidup di zaman kompor gas, yaitu kompor dengan bahan bakar minyak gas alias kerosen, atau yang dalam bahasa nasional disebut minyak tanah. Entah kenapa orang Jawa menyebutnya “minyak gas” padahal ia berwujud cairan. Anyway struktur kompor minyak tanah yang memanfaatkan daya kapilaritas membuat saya takjub. Saya lebih merasakan kepuasan tidak wajar saat mengamati atau ikut membongkar pasang kompor, merapikan sumbu, atau mengisikan minyak, ketimbang saat masak atau bahkan makan.
Nah, kembali ke insiden alarm kebakaran tadi, yang terjadi di zaman kuliah di Jepang, jujur saya tidak ingat bagaimana bisa bertahan hidup dengan kemampuan masak yang memprihatinkan sementara jajan di luar tidak jelas kehalalannya. Yang pasti, setiap pagi saya sarapan roti isi daun selada dan sosis yang diolesi mayones, lalu disiram kopi susu. Untuk makan siang, variasinya antara udon kantin atau onigiri minimarket. Malamnya, kalau sedang rajin, saya menggoreng tenpura udang (selalu dipastikan udangnya produksi Indonesia, yang berukuran paling besar dan harga paling mahal se-supermarket, bukan karena hedon tapi semacam dorongan nasionalisme). Kalau sedang malas, saya menggerayangi lemari bawah TV tempat stok senbei dan biskuit tersimpan. Pada hari-hari ketika bosan, sempat atau ingin memasak, saya akan mengingat-ingat masakan rumah yang sekiranya doable dengan sumber yang tersedia, lalu sms Ibu menanyakan resepnya. Saya sendiri punya resep original yang saya kasih nama isinya tahu. Ini resep kecelakaan. Suatu hari saya setengah mati kepingin makan tahu isi. Karena tekstur tofu yang superlembut dan tidak bisa digoreng, saya coba pakai atsuage (tahu goreng jadi) yang penampakannya mirip tahu goreng kita. Nyatanya, kulit atsuage tidak setangguh tahu goreng Indonesia. Ketika dikerowoki, kulitnya ikutan hancur. Frustasi, sekalian saya lumat dan masukkan kulit itu di campuran isi, lalu saya makan begitu saja. Ternyata rasanya tidak terlalu buruk. Yang kurang tinggal cabe rawit saja. Pun dengan pola makan seadanya begitu, berat badan saya sempat naik empat kilo – tertinggi sepanjang sejarah.
Belakangan sesudah merantau ke Jakarta dan tinggal di kos yang dilengkapi dapur umum, barulah saya tergerak untuk belajar masak beneran. Sebagian karena ingin mengurangi jajan di luar, sebagian karena, well, I like to learn a skill that takes me forever to master because it keeps me busy. Minat baru ini didukung oleh google, aplikasi kumpulan resep, serta bimbingan jarak jauh dari tante. Kadang saya menyesal semasa Ibu masih ada tidak lebih rajin menempel beliau ketika sibuk di dapur sehingga tidak sempat belajar resep keluarga. Baru sekarang saya sadar bahwa memasak dapat menjadi salah satu cara bagi anak untuk tetap terhubung dengan orang tua. Saya juga telat menyadari arti penting lain keterampilan ini; bukan untuk memikat pria, tapi sebagai survival skill, karena makanan adalah satu dari Five Principal Exceptions to Gamp’s Law.
Dulu saya berpikir untuk memasak diperlukan sihir. Bagaimana lagi mengubah daging merah yang liat dan tawar menjadi bakso berwarna kelabu nan empuk dan lezat? Karena mengira ada trik tertentu, saya pernah memutuskan untuk melakukan satu sesi pengamatan menyeluruh terhadap aksi Ibu di dapur. Namun sesudah menyaksikan semuanya, saya kecewa. Saya ingat berkomentar, “Itu aja?” tidak percaya sama sekali bahwa tidak ada tongkat sihir terlibat. Ibu hanya tersenyum. “Iya, gitu aja. Nggak ada rahasia,” katanya. Semua cuma soal reaksi kimia.
Barangkali, barangkali lho ya, sihir yang menyulap masakan Ibu jadi istimewa itu ya cinta. Perasaan seorang Ibu yang ingin menjaga kesejahteraan keluarganya tercurah melalui makanan yang dibuat dengan kedua tangannya. Ini cuma spekulasi sih, dengan begini saya bisa membela masakan (dan harga diri) yang hancur dengan alasan belum ketemu orang yang begitu ingin saya jaga kelangsungan hidupnya sampai saya belain mau masakin pake cinta. *kalem
*Draft ditulis tanggal 22 Mei 2016 dalam penerbangan Jakarta-London, meski tidak ada hubungannya dengan perjalanan itu sendiri. I just needed a distraction because the flight was so painfully long that at some point I started to think that the whole journey was not as brilliant an idea as I had thought.